Wilujeng Sumping

Ulah mopohokeun diri maneh nu asal !!!!

Minggu, 15 April 2012

Bisika seorang pelacuar



”mohon maaf sebelumnya, saya kurang sependapat dengan apa yg barusan bapak sampaikan.”
”coba kemukakan alasan kenapa kamu tidak sependapat”

”menurut saya, pelacuran adalah bagian kecil dari kebudayaan bangsa ini pak. Ini jelas, bukankah seorang filsup yg menyusun tentang tujuh unsur universal kebudayaan mengatakan salah satu unsur universal kebudayaan adalah mata pencaharian pak?? Ini sudah kita bahas pada pertemuan sebelumnya dan bapak sepakat dengan apa yg ditulis oleh filsuf tersebut. Bukankah pelacuran di negeri ini atas dasar mata pencaharian pak?? Bukan karena para pelacur itu mau melacurkan diri mereka pak, atau mereka yg melacurkan dirinya tidak punya keahlian lain selain menjadi pramunikmat. Melainkan itu fakta bahwa negara sampai hari ini tidak mampu menyediakan lapangan pekerjaan yg layak bagi mereka pak.

”sebagai orang Indonesia, saya tetap tidak sepakat kalau pelacuran dianggap sebagai budaya bangsa ini” dosen Sosial dan Budaya Dasar tadi memotong alasan yg aku kemukakan. Wajahnya yg hitam itu tampak memerah, mungkin dia marah mendengar perkataanku, atau juga merasa dipermalukan dihadapan mahasiswanya sendiri karena perkataannya hari ini sungguh jauh dari apa yg dia sampaikan minggu lalu. Tapi aku terus saja mengemukakan pendapat yg menurutku lebih tepat dari pada apa yg dia sampaikan.
”itu jelas bukan alasan yg ilmiah apa yg bapak sampaikan tadi. Saya juga warga negara bangsa ini pak. Sejujurnya hati kecil saya juga berontak jika pelacuran dikatan bagian dari kebudayaan bangsa ini pak, tapi kita juga tidak bisa menutup mata bahwa fenomena ini telah terjadi di negeri ini, bahkan sebelum nama Indonesia lahir pak.” sontak saja dosen pengajar ku tadi tambah marah, mungkin tidak terima argumennya dibantah mahasiswanya sendiri.

Dengan nada tinggi dia meminta biodata ku dan memintaku menemuinya diruangannya. Belum selesai waktu dia mengajar, dosen tadi meninggalkan ruang kelas. Tindakan ini jelas menimbulkan berbagai macam pertanyaan dikepalaku, bahkan tidak sedikit kawan-kawanku berspekulasi atas kejadian tersebut. Ada juga yg menjadikannya bahan lelucon, sehinngga suasana kelaspun mencair lai setelah tegang beberapa saat.

Tersiar kabar dari ketua tingkat kelasku, dosen tadi memintaku untuk menemuinya diruangan dan meminta maaf padanya. Informasi itu aku tolak dengan tegas. Karena aku merasa apa yg aku ungkapkan diruang kelas tadi adalah ilmiah dan atas dasar yg jelas.

Seperti yg sudah aku duga sebelumnya, tidakan ku yg menolak meminta maaf pada dosen tersebut berujung pada nilai D yg tertera di Kartu Hasil Studi semester ini pada mata kuliah Ilmu Sosial Dan Budaya Dasar.


Liburan semester kali ini tidak berbeda dengan liburan-liburan sebelumnya. Disaat semua mahasiswa memanfaatkan momen ini untuk pulang kekampung halaman masing-masing untuk sekedar melepas penat setelah menuntut ilmu diperantaun. Tidak sedikit dari mereka juga yg pergi berlibur keluar pulau, bahkan keluar negeri untuk melampiaskan hasrat gaya hidup yg selangit. Sementara aku dan beberapa kawan yg lain masih betah berada didalam kampus  . kami bahu membahu menggarap sebuah pertunjukan yg akan kami pentaskan di Bali. Bali...?? siapa yg tak mengenal keindahan pulau dewata tersebut. Bahkan dunia internasional pun mengakui keindahan panorama pulaunya dan budayanya. Tidak sedikit pula para pelaku industri musik menuliskan bait demi bait  yg melantunkan keindahan pulau tersebut.

Jujur saja, aku tahu tentang bali hanya dari televisi saja. Bahkan bermimpi untuk menginjakkan kaki kepulau tersebut pun aku takberani. Tapi begitu kesempatan itu datang, aku dan kawan-kawan tidak menyia-nyiakan kesempatan tersebut. Bukan berarti berlibur dan berwisata menjadi tujuan kami. Kami sepakat menjaga orientasi kedatangan kami kepulau tersebut untuk mempertunjukkan hasil proses kami selama ini. Kesempatan pulang kampung pun kami korbankan.


Hari itu, aku dan seorang sahabat yg berbeda lembaga berangkat terlebih dahulu menuju Surabaya untuk mengurus segala sesuatunya termasuk tranportasi dari Surabaya menuju Bali, karena rombongan yg menyusul dua hari lagi menggunakan jalu darat menuju Bali.

Sesampainya di Kota Pahlawan, pikiranku terus terusik tentang fenomena pelacuran yg ku anggap sudah membudaya dibangsa ini.

Setelah istirahat beberapa saat dikampus kawanku di Surabaya, aku mengajak dia untuk ke lokalisasi Dolly yg terkenal se-Asia Tengara dan lokalisasi yg secara resmi dilindungi oleh pemerintah kota dengan alasan pemasukan terbesar di daerahnya.

”boy, ke dolykah??

”mau ngapain?? Kawanku balik bertanya.

”ngapain aja boleh” aku sambil tertawa menjawab pertnyaannya yg menurutku konyol tadi. ”jangan dipikirkan disini boy, ntar kalau udah sampai disana baru kita pikirkan,ok” lanjutku enteng.
”ok deh, aku ngikut aja”

Setelah itu kami sampaikan niat tadi kepada kawan yg membantu kami selama dikota itu. Merekapun menyiapkan dua orang anggota untuk menemani kami ke lokalisasi doly yg terkenal itu.

Sepenjang jalan, tanpa sepengetahuan kawanku, aku telah menyusun rencana apa yg akan aku lakukan selama dilokalisasi tersebut dalam hati. Beberapa saat kami telah tiba di lokasi yg dimaksud.

”kita pisah atau bareng ni??” tanya kawanku

”Kita bareng aja biar nggak susah ntar nyarinya,ok”

Kami mulai berkeliling lokalisasi tersebut hingga tak ada satu bagianpun yg kami lewatkan. Layaknya ikan yg berada dalam akuarium, perempuan-perempuan yg menjajakan diri merekapun dipajang dalam kotak kaca yg besar sehingga para pencari nikmat yg datang malam itu bebas memilih perempuan mana yg mereka pilih untuk memuaskan hasrat mereka. Sungguh, ini pengalamanku yg pertamakali menginjakkan kaki ditempat lokalisasi.

”boy, kenapa ada Wisma Kalimantan disini?? Sampai Wisma Kalimantan 5 lagi?? Apa pekerja disini benar-benar orang kalimantan?? Tiba-tiba aku protes karena melihat plang nama yg aku lihat bertuliskan Wisma Kalimantan.

”entahlah, aku juga pertama kali kesini” jawab kawanku yg tidak nampak rasa penasaran sedikitpun dari raut wajah kusamnya. Entah apa yg dia pikirkan.

Tapi protes yg aku layangkan tadi bukan serta merta membuatku berkeinginan membakar tempat itu atas dasar ketersinggungan. Karena konsekuensinya bisa-bisa aku juga akan ikut dibakar oleh orang-orang yg sumber rejekinya berasal dari keramaian lokalisasi ini. Aku hanya tertawa kecil dalam hati.
Sekarang aku berdiri didepan sebuah wisma yg didalamnya kelihatan penuh oleh para hidung belang yg mencari teman melepas penat malam ini.

Seorang calo mendekatiku sambil menawarkan perempuan-perempuan yg ada didalam kotak kaca tersebut. Aku tahu calo ini penduduk setempat, terlihat dari logat yg dia gunakan.

”masuk mas bro, apik-apik lo mas bro. Anyar-anyar, tenan.”

Akupun memutuskan untuk masuk kedalam ditemani calo tadi. Sepanjang jalan dia terus menunjukkan perempuan-perempuan yg dimaksudkan.

”sing iku apik tenan mas.  De’e iso opo ae lah pokoknya. Tergantung permintaan. Namanya Marni,umurnya 22 tahun mas, de’e durung onok ana’e mas, tenanan lo iki mas. Siip lah pokoknya.” celoteh calo tersebut.

Tanpa pikir panjang aku langsung mempercayai calo tersebut. Walaupun sebenarnya dalam hati dari tadi aku mohon maaf yg sebesar-besarnya pada ibuku, karena kalau dia tahu apa yg aku lakukan malam ini dia pasti marah padaku. Tapi itu tidak mengurungkan niatku untuk menjawab segala pertanyaan yg bergelayutan di otakku saat ini.


Sosok perempuan berbadan sintal itu kini berada dihadapanku. Kami berdua didalam kamarnya. Setelah beberapa saat aku pun memulai obrolan malam itu.

”benar namamu Marni”

”kok tau mas??  pasti tahu dari Yanto ya??” yanto adalah calo yg menawarkan Marni padaku tadi.
”iya”
”bisa kita mulai mas??” dengan manjanya pertanyaan itu dia keluakan. Pertanyaan itu sedikit mengganggu pendengaranku. Bukan tidak mungkin aku akan larut dan kalah pada malam ini yg memang sedang dinggin-dinginnya. 

”sebentar, sebelumnya aku minta maaf, aku takut menyinggung perasaanmu, karena aku sadar apapun pekerjaanmu saat ini, kau tetap manusia yg punya perasaan dan kapan saja dan dimana saja bisa tersinggung.”
”ah mas ini bisa saja” potongnya sambil tertawa kecil.

”malam ini aku hanya ingin mengajukan beberapa pertanyaan, untuk memenuhi penelitianku marni” jawabku. Mungkin ini dianggap alasan baginya.

”mas ini wartawan ya??” tanya marni dengan sedikit rasa penasaran.

”bukan mar, aku masih kuliah di perguruan tinggi di kalimantan. Akudatang kesini hanya untuk memenuhi rasa penasaranku. Tidak lebih. Sungguh,aku bukan wartawan”

”syukur deh. Sebab, wartawan bahaya mas kalau ketahuan masuk kesini. Untuk wartawan ada proses yg harus mereka lewati dulu, baru bisa meliput disini mas.” sambil berbicara itu, Marni sebenarnya sambil membuka bajunya perlahan-lahan, tapi keburu ku cegat. Aku tidak mau menodai niat bulat ku malam ini untuk sebuah pembuktian. Marni pun mengurungkan niatnya.


Jujur saja aku sedikit gugup malam itu, karena ini adalah pengalaman pertamaku mewawancarai perempuan pramunikmat.

Malam itu ku awali dengan pertanyaan-pertanyaan yg bersangkutan dengan latar belakang Marni sebelum terjebak dalam ruangan ini. Marni pun menjawab dengan jujur, tidak tampak kebohongan yg tersirat dari wajahnya.

”tidak takut di cap masyarakat sebagai sampah masyarakat dan perusak moral bangsa Mar??”
”masyarakat yg mana mas?? Moral yg bagaimana mas??” marni balik bertanya padaku. ”bukankah mereka yg datang kesini itu bagian dari masyarakat juga mas?? Di televisi, setiap hari aku melihat berita tentang koupsi yg melibatkan pejabat teras bangsa ini di semua pelosok mas. Apa itu tidak dianggap merusak moral bangsa mas?? Apakah tindakan korupsi yg mereka lakukan itu tidak dapat dikatakan sebuah praktek pelacuran politik yg sangat merugikan ratusan juta rakyat di negeri ini??” aku kaget mendengar pernyataan dari Marni tersebut, bahkan hampir tidak percaya, karena pernyataan itu keluar dari mulut seorang perempuan yg menjajakan tubuhnya sebagai mata pencahariannya. Tidak salah diawal tadi aku menilai sebenarnya   Marni adalah seorang permpuan yg pandai. Aku melanjutkan pertanyaanku.

”bagaimana tanggapanmu tentang para pemuka agama yg selalu mengkampanyekan untuk menolak segala macam bentuk  pelacuran di negeri ini Marni??”

Dia tidak langsung menjawab pertanyaanku. Dia malah balik bertanya padaku. ”bagaimana juga tanggapan mas tentang korupsi terbesar dalam negeri ini salah satunya berasal dari Departemen yg mengurusi soal Agama??” belum sempat aku menjawab, dia langsung melanjutkan pembicaraanya. ”aku sadar mas, tidak ada satu agamapun di negeri ini yg menghalalkan praktek jual beli birahi mas. Tapi satu hal yg mesti mereka ketahui mas, perempuan yg menjajalkan tubuhnya untuk dinikmati orang lain, bukan serta merta keinginan mereka mas. Ini kami lakukan karena memang kami tak diberikan pilihan lain, bahkan oleh negara ini sekalipun mas. Pekerjaan kami ini justru menguntungkan mereka mas, coba hitung berapa besar pajak yg harus kami keluarkan dalam praktek birahi ini?? Aku pun sebenarnya ingin seperti orang-orang yg menganggap kami ini sampah masyarakat mas, mendapat pekerjaan yg normal dan upah yg layak.” Marni pun larut dalam apa yg baru saja dia kemukakan. Tampak butiran air mulai turun dari matanya yg terlihat sangat penat malam itu, karena sebelum kedatanganku, sudah sebelas tamu yg dia layani.

”kamu masih sering menjumpai Tuhanmu Marni??” aku bertanya seperti itu untuk mengalihkan kesedihannya. Marni tidak menjawab, tapi tangannya menunjuk kearah sajadah dan mukena yg terdapat disudut kamarnya. Diatasnya juga terdapat sebuah yassin kecil. Itu cukup menjawab pertanyaan yg aku ajukan tadi.
”kepada siapa lagi aku curhat mas, kalau bukan pada-Nya. Aku sadar sangat kotor dihadapan-Nya. Tapi aku juga yakin, Tuhan pasti punya rahasia yg harus aku jawab suatu saat mas. Aku juga tidak mau terus-terusan berada di lembah nista ini. Suatu saat aku ingin keluar dan menyusun kembali hidupku yg baru mas. Membesarkan buah hatiku dengan keringat yg halal.”

Percakapan kami malam itu hanya sampai disitu, karena waktu sewa kamar telah habis. Akupun pamitan pada Marni. Marni berterima kasih padaku karena telah mau mendengar curahan perasaannya.

Dua minggu telah berlalu sejak pertemuanku dengan Marni, seorang pramunikmat yg memberikan banyak jawaban atas rasa penasaranku.

Kini aku sudah berada dikampus kembali setelah melakukan pertunjukkan di Bali sekaligus melepas semua penat di pantai Kuta

Kebebasan


Kebebasan
Ada anak perempuan yang tiba-tiba mengurung dirinya. Dia sama sekali tidak mau keluar rumah. Bahkan di dalam rumah ia lebih banyak mendekam di kamar. Hal ini mencemaskan keluarga dan menimbulkan curiga tetangga.
“Kalau tidak bunting tetapi tidak ketahuan siapa lakinya, mungkin itu tanda-tanda mau gila,”analisa seorang tetangga.
Keluarga langsung mengadu kepada yang berwajib..
“Kami sudah difitnah, Pak. Kami bersumpah anak kami masih perawan. Dia siap membuktikan dengan pemeriksaan laboratorium. Tidak mungkin anak kami melakukan tindakan bejat. Jiwa-raganya sehat. Anak kami waras, bahkan IQ-nya tinggi sekali. Dia hanya memutuskan tidak mau keluar rumah lagi sebab dia mau merdeka.”
Petugas yang mencatat pengaduan itu bingung.
“Mau merdeka?”
“Ya.”
“Tapi kita sudah merdeka sejak 17 Agustus 1945!”
“Itu kemerdekaan politik, Pak. Anak saya mau merdeka di dalam berekspressi.”
Petugas berhenti mencatat. Dia berpikir, lalu permisi ke belakang. Di belakang ia berunding dengan teman-temannya. Petugas lain, lebih senior, lalu muncul, menggantikan bertanya.
“Bapak tadi mengatakan bahwa kita belum merdeka?”
“Bukan begitu, Pak. Saya mengatakan bahwa anak saya tidak keluar rumah, karena dia ingin merdeka di dalam berekspresi.”
“Silakan. Kita kan sudah merdeka.”
“Tapi itu tidak akan bisa dilakukan di luar rumah, Pak, sebab akan dituduh mengganggu kebebasan orang lain. Kami bisa diswiping.”
Petugas itu berpikir. Akhirnya bertanya dengan curiga.
“Tergantung dari apa yang mau Bapak lakukan!”
“Berekspresi saja, Pak.”
“Ya apa itu?”
“Berbicara, berbuat, berpikir, bertingkah-laku, berpakaian, mengeluarkan pendapat dan sebagainya, Pak.”
“Silakan. Selama itu tidak mengganggu ketertiban dan hak-hak orang lain, Bapak bebas melakukannya. Bahkan mengganggu pun silakan, asal itu hanya terjadi di dalam pikiran Bapak saja.”
“Bukan saya, Pak. Anak saya. Saya melaporkan apa yang menimpa anak saya.”
“Di mana dia sekarang?”
“Di rumah, Pak.”
“Sakit?”
“Sama sekali tidak, Pak.”
“Kenapa tidak datang sendiri melapor ke mari?”
“Sebab dia konsisten dengan pendapatnya, Pak. Di luar rumah tidak bisa merdeka lagi berekspressi sekarang, karena akan dibatasi oleh kemerdekaan orang lain. Jadi dia sudah beberapa bulan ini berkurung rumah. Tapi itu pun tidak bisa, karena dia difitnah dikatakan bunting atau gila. Belakangan saya dengar ada yang menghasut, kalau gila harus dimasukkan ke Rumah Gila, kalau tidak akan mengganggu masyarakat.”
“Jadi ada pihak-pihak yang menekan Bapak supaya memasukkan anak Bapak ke Rumah Sakit Gila?”
“Arahnya pasti ke situ, Pak.”
“Konkritnya Bapak kemari mau mengadukan ……. ?”
“Fitnah, Pak!”
Petugas itu melihat ke mesin ketik. Setelah membaca ia mengeluarkan kertas dari ketikan itu sambil ngedumel.
“Kalau begitu ini salah. Jadi Bapak sudah ditekan oleh massa untuk mengirimkan anak bapak ke Rumah Sakit Gila!”
“Bukan, bukan begitu, Pak.”
Petugas tertegun.
“Jadi bagaimana?”
“Saya datang untuk meminta perlindungan. Berikanlah hak pada anak kami yang tidak ingin keluar rumah. Sebab dia ingin bebas mengekspresikan dirinya di dalam rumah. Dengan tidak keluar rumah, sebenarnya anak saya kan mau memelihara kebebasan orang lain di luar rumah? Mestinya mereka berterimakasih, tetapi kenapa anak saya malah difitnah?”
Petugas itu menarik nagas panjang. Mengeluarkan rokok. Setelah beberapa kali hisap, ia meletakkan rokoknya, lalu permisi, masuk ke kamar atasannya. Tak berapa lama kemudian, atasannya muncul. Masih muda dan cakap.
“Selamat pagi, Pak, ada persoalan apa?”
Senyum dan keramahan petugas yang rupanya orang nomor satu di pos meluluhkan. Bapak yang mengadu itu. Ia langsung berpikir, kalau ada pemuda semacam itu melamar putrinuya, dia akan menyerah tanpa syarat.
“Ada masalah apa?”
“Anak saya difitnah, Pak.”
“Difitnah bagaimana?”
“Difitnah bunting dan gila karena tidak keluar rumah, Pak.”
“Kenapa tiak keluar rumah?”
“Sebab dia merasa sekarang kemerdekaan sudah diartikan seenaknya oleh orang lain, sehingga kemerdekaan itu membuat orang lain tidak merdeka. Padahal kita kan sudah setengah abad merdeka, Pak. Anak saya merasa kebebasan berekspresinya terancam di luar rumah, jadi dia berkorban, tidak mau keluar rumah. Malah diserang oleh massa. Saya datang untuk mendapatkan perlindungan.”
Pejabat muda itu mengangguk.
“Putri Bapak itu seniman?”
Bapak yang mengadu itu mengeluarkan dompetnya, lalu menarik foto anak gadisnya.
“Anak saya ini, Pak.”
Semua tercengang melihat foto seorang gadis yang cantik dan sensual.
“Wah putri Bapak cantik sekali. Wajar masyarakat protes, kenapa orang secantik itu tidak mau keluar rumah lagi.”
Muka Bapak yang melapor itu tiba-tiba pucat. Ia lama terdiam. Kemudian dia seperti baru bangun tidur, buru-buru permisi dan membatalkan pengaduannya.
“Ternyata kita selalu bisa melihat segala sesuatu dari sudut yang lain. Itu sebenarnya makna kebebasan,”bisiknya dengan sungguh-sungguh pada putrinya.

CACAT


CACAT kembali ia berjalan tertatih. Menyeret separuh bagian tubuhnya dengan terpaksa. Ia merayap, memelas kepada hampir semua orang yang berlalu-lalang di sekitar jalan protocol ini. Perawakannya kumuh, amat kucel. Tak betahlah mata ini memandangnya berlama-lama. Dengan melasnya ia memita belas kasih dari orang yang lewat. Setengah memaksa, ia meminta beberapa nilai uang dari orang-orang sekitar. Tak tega benar jika melihatnya bertingkah seperti itu. Sungguh memancing rasa empati tiap individu di sekitarnya.

Keadaan kota kian gelap. Mentari perlahan meringkuh ke peristirahatannya sementara waktu. Keelokan langit sore tergambar indah pada cakrawala barat. Induk burung beterbangan menuju sarangnya, berharap buah hatinya puas akan mekanan yang telah dibawanya. Hiruk pikuk kota makin padat. Tiap insan berlomba untuk segera tiba di rumah dan menikmati ketenangan mandi dengan air hangat. Di sisi lain jalan protocol yang kian padat ini, tepat di pinggir jalan ini, sosok yang telah seharian memelas dan menyeret separuh tubuhnya itu mengambil duduk sejenak. Ia tersenyum puas. Bibir sumbing yang siang tadi ia tunjukan, tak tampak lagi. Perlahan ia mengambil sikap siap, dan berdiri sempurna. Sangat kontras dengan keadaan tubuhnya siang tadi. Ia melangkah normal, tak menyeret tubuhnya lagi. Dengan bangga ia menghitung jumlah uang yang ia dapatkan. “Dasar orang-orang bodoh! Mudah sekali untuk mengelabuhi mereka. Dengan begini aku akan kaya! Kaya…. Ya KAYA!!! Hahahahahaha…..!!!!” tawanya lepas. Penuh dengan ketamakan dalam dirinya.
“Wah, Bang banyak banget tuh fulusnya. Ngobjek dimana nih?”

“Eh ya iya lah, siapa dulu, Gue gitu!!! Hahaha!!” jawab Si Cacat sombong.

“Makanye lu lu pade mesti pake otak kalo ngobjek. Jangan Cuma asal minta-minta. Acting dikit kek. Pasang tampang melas gitu!! Pasti dah, bakal kasian liat muka lu pade. Bila perlu nih ye, air comberan elu siram ke badan lu!!! Makin bau, makin jelek, makin banyak duit!!!! Hahahahaha”, tutur panjang lebar Si Cacat, berlagak profesional dalam menipu.
“Bocah, dengerin gue ye… hidup entu cuman buat dapetin duit inget baik-baik, Cuma buat duit. Kagak lebih dari itu!!! Paham???”
“Paham, Bang!!!” jawab bocah-bocah jalanan hampir serentak.

Kehidupan jalanan memang terasa berbeda. Siapa yang kuat, dia ang berkuasa. Sangat persis dengan hukum rimba yang sering kita dengar dalam cerita-cerita fabel. Dan kini, Si Cacat bak dia atas angin. Ia menjadi seorang makelar dadakan di daerahnya. Semua karena uang haram yang ia dapatkan, bukan yang lain.

Seperti kecanduan, Si Cacat terus melakuakan penipuan dengan menjatuhkan harga dirinya. Kembali ia merayap, meronta, berharap belas kasih dari individu yang tengah berlalu-lalang di sekitar jalan protocol tempat ia mangkal. Serasa semua sudah habis hati untuk berempati kepadanya, kian hari makin kecil pula pendapatanya. Suatu ketika ia mulai geram. Saat mentari sudah makin membubung tinggi, tak satu keping uangpun masuk ke dalam gelasnya. Lewat satu orang, berbelas kasih dengan Rp200,00. Tak terima, ia berteriak “Dasar pelit Lu!!!”. “Awas Lu ya, gue sumpain lu jadi kere tau rasa Lu!!!” geramnya dalam hati.

Merasa tempat ia mangkal kurang strategis, ia pindah ke sisi lain jalan protocol yang sama. Tentunya dengan harapan mendapat pemasukan lebih. Pucuk dicita, ulam pun tiba. Bak ditimpa durian montong, selembar uang berwarna biru bertuliskan nominal Rp50.0000,00 masuk kealam gelasnya. Senang bukan kepalang Si Cacat. Tak pernah ia menerima uang sebesar itu. Bahkan penghasilan tertingginya pun, tak mencapai angka Rp50.0000,00. Ia berterima kasih kepada dermawan itu. Tentunya masih dengan gaya sumbingnya. Dimulai dari bagian bawah tubuh Sang Derma, berlanjut ke tengah hingga ke atas. Betapa terkejutnya Si Cacat. Sang Derma merupakan peyandang cacat. Ia berdiri dengan dibantu sebilah tongkat. Rambutnya telah beruban pula. Dengan senyum penuh keramahan, Sang Derma menyapa Si Cacat. “Semoga ini cukup untuk makan,” ujarnya singkat dan berlalu. Langkahnya tertatih. Namun raut wajahnya gambarkan ketegaran. Bak ditimpali rasa malu yang tiada habis, Si Cacat menangis. Ia terdiam. Lidahnya terasa kelu. Badannya gemetar. Per
lahan ia berdiri. Ia lepas perban-perban palsu di kakinya. Ia hapus noda-noda gambaran yang menyerupai borok di badannya. Air mukanya tampak geram, marah, malu. Marah akan dirinya sendiri. Geram akan segala ketamakannya. Malu akan sikap bodoh yang telah ia lakukan. Ia menangis. Ia menyesal. Dilihatnya seorang bocah perempuan kecil yang tengah mengamen. Dipanggilnya bocah itu. “Dek, ini buat kamu. Sekarang kamu pulang gih!!” ujar Si Cacat bijak. Ia menyerahkan selembaran Rp50.000,00 kebanggaannya beberapa menit yang lalu. “Aku bukanlah lagi Si Cacat bodoh. Aku tidak cacat. Sama sekali tidak. Harga diriku masih jauh lebih baik daripada ini semua,” tekad Si Cacat dalam hati, tulus. “Tuhan, maafkan semua kebodohanku dan ketamakanku ini. Sungguh aku telah sesat dibuatnya. Astaghfirullaha’adziim….. astaghfirullahal’aziim…. Astaghfirulahal’adziim…” sesal Si Cacat. Ia melangkah pergi meninggalkan markas besarnya. Langkahnya gontai. Airmata pun tak henti temani langkah-demi langkah yang ia jejaki.

Si Cacat telah jera. Ia telah lenyap dari muka bumi ini. Bukankah tangan di atas jauh lebih baik dari tangan di bawah?
“Setiap orang mampu membohongi orang lain dengan segala kepura-puraannya…… Namun, tiada satupun orang yang mampu membohongi hati nuraninya”    


Surga


Surga
Pemakaman Jendral Besar Soeharto, bekas presiden Indonesia selama 32 tahun, berlangsung spektakuler. Seperti layaknya pemakaman orang penting dan kehilangan besar negara – mengutip yang dinyatakan oleh beberapa petinggi mancanegara – upacara yang dihadiri 2000 orang itu menjadi lembar terakhir almarhum yang sempurna.
“Semua presiden Indonesia kalau meninggal pemakamannya harus seperti ini,”kata Amat selesai menonton pandangan mata peristiwa itu di layar televisi.
“Apakah upacara pemakaman akan menjadi jaminan almarhum akan masuk surga?” tanya Ami menggoda.
Amat tertegun.
“Maksudmu siapa? Pak Harto?”
Ami mengulang pertanyaannya.
“Apakah upacara menjamin perjalanan almarhum, siapa saja, sampai ke tempat yang semestinya di sana?”
“O kalau itu, jawabnya, tidak. Upacara di dunia ini hanya usaha kita untuk menempatkan almarhum sebaik-baiknya di dunia. Di sana, urusan di sana. Kita tidak mungkin ikut campur. Tapi sudah pasti semua almarhum akan mendapat tempat yang semestinya. Tidak akan mungkin bisa terjadi salah kamar. Besar kecil upakara, tidak menjadi ukuran. Karma almarhum adalah ukurannya. Dan urusan karma …”
Bu Amat memotong.
“Bapak ini suka bertele-tele. Pak Harto itu akan masuk surga atau tidak? Itu pertanyaan anakmu! Ya kan Ami?”
Ami tertawa.
“Bukan Bu, jangan salah sangka. Ami tidak menanyakan itu. Dia hanya ingin mengatakan bahwa upacara itu tidak menjamin apa-apa. Dan aku menegaskan, karma yang akan menjadi ukuran. Jadi … . “
“Jadi masuk surga atau tidak?”
“Ya tidak tahu, itu kan urusan di sana.”
Bu Amat kecewa.
“Bapak ini selalu mutar-mutar kalau diajak ngomong. Bilang ya atau tidak apa susahnya? Ya atau tidak? Masuk surga atau tidak?”
Amat tertegun, lalu menjawab lirih.
“Aku tidak tahu.”
“Ya sudah kalau tidak tahu, jawab tidak tahu, tidak usah ke sana-ke mari!”
Amat tak menjawab. Setelah istrinya masuk kamar lagi, ia baru menoleh paa Ami.
“Ami, di dalam pewayangan diceritakan, setelah perang Bharatayudha, ternyata Pandawa Lima yang selalu kita anggap tempatnya di kanan mewakili kebaikan, tidak masuk surga semua. Hanya Yudhistira yang masuk serta diikuti oleh seekor anjing. Jadi aturan di sana dengan di sini itu memang lain sama sekali. Kita hanya bisa menebak-nebak dan berusaha. Yak kan?”
Ami berpikir.
“Kenapa Bapak gugup waktu Ibu nanya Pak Harto masuk surga atau tidak?”
“Ya karena aku tidak tahu.”
“Bohong!”
Amat terkejut, tetapi kemudian senyum.
“Betul. Sebenarnya aku punya pendapat. Hanya saja belum tentu pendapatku itu benar.”
“Apa?”
“Menurutku Pak Harto akan masuk surga.”
Ami kaget.
“O ya? Dengan segala karmanya itu almarhum akan masuk surga? Kenapa?”
“Karena begitulah pendapatku.”
“Jadi Bapak mendukung Pak Harto?”
“Aku tidak bilang begitu. Aku hanya bilang beliau akan masuk surga. Kenapa kamu jadi marah kalau Bapak bilang almarhum akan masuk surga?”
“Karena itu tidak adil!”
Ami langsung bangun, lalu masuk ke kamarnya. Ia menutup pintu keras-keras, sehingga Bu Amat kaget, lalu keluar.
“Ada apa Pak?”
“Anakmu marah-marah lagi!”
“Kenapa?”
“Karena aku bilang Pak Harto akan masuk surga.”
Bu Amat yang sekarang tercengang.
“Kenapa?”
“Apanya yang kenapa?”
“Kenapa Pak Harto akan masuk surga?”
Amat tertawa.
“Kenapa tidak?”
Bu Amat tercengang. Dia lalu masuk kembali ke dalam kamar dan mengunci pintu. Amat hanya tertawa.
“Begitulah kita di dunia ini,”kata Amat kemudian ngungsi ke pos keamanan bergabung dengan para petugas , karena tidak dibukakan pintu kamar, “Kita lupa, jangankan dunia sana, yang ada di dunia ini saja, tidak semuanya kita ketahui. Kok mau bertengkar tentang apa yang terjadi di sana. Apa yang di sana akan berubah kalau, kita memenangkan pertengkaran di sini? Omong kosong! Sudahlah percaya saja, yang di sana nanti pasti akan adil seadil-adilnya. Pasti tepat. Nggak usah berusaha untuk main sogok segala! Itu kan kebiasaan kita di sini saja, kalau mau cari jabatan! Besar umpannya besar dapatnya!”
“Kecil umpannya, kecil ikannya!”, sambung para petugas spontan, meskipun tidak tahu apa yang sebenarnya dibicarakan Amat.
“Lha ya nggak?? Memangnya mancing!!”
Para petugas ketawa.
“Jadi sebaiknya bagaimana Pak Amat?”
“Ya sudah, yang tak perlu dipikirkan jangan dibicarakan, yang tidak usah dibahas jangan dipertengkarkan! Kerja saja yang santai!”
“Setuju pak Amat.”
“Harus setuju. Mau betengkar bagaimana lagi, kita sama-sama tidak tahu, surga itu di mana?!”
Para petugas berhenti ketawa dan salah seorang menjawab sambil lalu.
“Kata orang tua saya, surga itu di dalam hati orang lain, Pak.”
Amat terkejut.
“Orang lain bagaimana?”
“Bila kita bisa membahagiakan orang lain, itu surga.”

Panca Sila


Panca Sila
Amat minta dibuatkan nasi kuning.
“Untuk apa?”tanya Bu Amat curiga.
“Merayakan kelahiran Panca Sila.”
“Lho merayakan Panca Sila dengan nasi kuning?”
“Ya sudah, kalau begitu ditambah dengan betutu ayam kampung!”
Bu Amat tercengang, kontan membentak.
“Kalau cuma mau makan betutu ayam kampung tidak usah pakai alasan merayakan Panca Sila! Nggak! Nggak ada waktu!”
Amat tidak membantah. Kalau dibantah, pasti nggak-nggaknya Bu Amat akan menjadi tidak. Tapi kalau tidak dibantah, biasanya tidak dari Bu Amat hanya sekedar gertakan, nanti pasti akan ada nasi kuning dan betutu.
“Tenang saja, “kata Amat pada Ami, “Bapak sudah hidup puluhan tahun dengan Ibumu itu, jadi sudah tahu segala sepak-terjangnya. Menghadapi dia harus pakai taktik strategi yang tepat. Pokoknya tetap saja undang teman-temanmu di kampus biar semua datang nanti pada hari Kesaktian Panca Sila ke rumah. Kita rayakan ultah falsafah negara yang sudah mengantarkan kita pada hidup damai dalam perbedaan itu. Sudah waktunya bangkit lagi setelah seratus tahun. Sudah terlalu banyak orang kini lupa dan bahkan mau menggantikan Panca Sila. Kita harus pertahankan!!”
Pada tanggal 1 Juni, Amat keramas dengan air bunga, lalu menggenakan stelan putih-putih. Sepanjang hari ia menyendiri, seperti masuk ke dalam sanubarinya. Hanya sekali-sekali ia mengintip ke arah dapur sambil mencium-cium apa sudah ada tanda-tanda betutu ayam kampung itu rampung. Ternyata tidak ada. Amat mulai deg-degan ,
Sore hari, Amat melirik ke meja makan. Tapi tidak ada perubahan. Istrinya yang siang tadi pamit karena ada pertemuan di rumah tetangga belum pulang. Amat mulai tidak yakin. Akhirnya ia masuk ke dapur dan memeriksa. Di situ ia kecewa sekali, karena nggak Bu Amat sekali ini memang berarti tidak.
Amat masih mencoba untuk memeriksa ke dalam gudang di samping dapur. Jangan-jangan istrinya mau bikin kejutan. Tetapi di gudang hanya ada ayam. Jumlahnya masih lima ekor. Tak satu pun yang disembelih. Jelas sudah tidak akan ada nasi kuning dan betutu ayam kampung.
Waktu Ami pulang dari kampus, Amat panik.
“Ami, Bapak salah perhitungan hari ini. Ibumu ternyata tak sempat masak karena ada pertemuan para ibu. Sampai sekarang belum pulang. Jadi kita akan menghadapi bahaya.”
Ami mengangguk tenang.
“Nggak apa, Pak. Tenang saja. Kita kan sudah 350 tahun dijajah, kita sudah biasa menghadapi bahaya.”
“Tapi kita akan malu besar, bagaimana kalau teman-teman kamu di kampus menanyakan nasi kuning dan betutu yang Bapak janjikan itu?”
“Tenang saja, Pak.”
“Bagaimana bisa tenang! Pasti mereka akan menuduh kita penipu?”
“Memang.”
“Aduh! Itu yang celaka! Kita menyambut Hari Kesaktian Panca Sila mestinya untuk membangun kepercayaan. Tapi ternyata kita sudah melakukan penipuan. Itu bisa tambah merusakkan Panca Sila!”
Ami mengernyitkan dahinya.
“Masak begitu?”
“Ya! Kalian anak-anak muda kan sudah banyak sekali menyimpan kedongkolan dan ketidakpuasan. Makanya kalian semua cepat marah. Belum apa-apa pasti langsung maunya demo, turun ke jalan berteriak-teriak, menentang, menggempur apa saja. Bapak mengerti sekali itu. Sekarang akan tambah bukti lagi, aku tua bangka ini sudah mempermainkan mereka!”
“Makanya kalau belum pasti Bapak jangan suka janji-janji.”
“Habis kalau tidak dipikat begitu, mereka pasti tidak akan mau datang!”
Ami nampak beringas.
“O, jadi Bapak memancing mereka datang dengan nasi kuning dan betutu? Bapak pikir mereka ngiler nasi kuning dan betutu?”
“Ya kan?!”
Ami tiba-tiba tertawa.
“Kok ketawa?”
“Yang ngiler sama nasi kuning dan betutu itu kan Bapak! Teman-temanku itu sekarang lebih seneng makan pizza, burger atau fried chicken. Mereka sama sekali tidak tertarik pada pancingan Bapak itu. Mereka tertarik karena masih ada orang mau meryakan Panca Sila di rumahnya secara pribadi. Itu berarti Panca Sila bukan hanya barang dagangan yang dipajang sebagai slogan, tetapi dikembangkan di dalam rumah, di dalam diri. Mereka suka, jarena itu mereka akan datang.”
Amat tercengang.
“Jadi mereka tidak mengharapkan nasi kuning dan betutu?”
“Apa Bapak tidak malu kalau teman-temanku datang merayakan kelahiran Panca Sila karena tertarik nasi kuning dan berutu?! Itu menghina! Ami tidak pernah bilang sama mereka ada nasi kuning dan betutu!”
Amat terkejut.
“Jadi kamu tidak pernah bilang ada nasi kuning dan betutu?”
“Ngapain nasi kuning dan betutu! Itu namanya melecehkan kebesaran Panca Sila!”
Amat mengurut dada senang. Ia merasa amat bahagia.
Malam hari, sekitar 15 orang teman-teman seperjuangan Ami datang. Peringatan diadakan dengan membacakan Pidato Bung Karno yang menandai kelahiran Panca Sila itu. Disusul dengan uraian dari salah seorang mahasiswa yang membentangkan Panca Sila dengan begitu bagusnya, sehingga Amat mnerasa seperti makan nasi kuning dengan betutu ayam kampung.
Setelah peringatan Panca Sila yang sederhana namun khususk itu selesai, tiba-tiba salah seorang mahasiswa nyeletuk.
“Tapi mana nasi kuning dan betutu ayam kampungnya?”
Amat tersirap. Ia gugup. Buru-buru ia mencari Ami ke belakang, sebab ia tidak tahu bagaimana harus menjawab.
“Ami! Kenapa teman kamu menanyakan nasi kuning dan betutu ayam kampung?”
“O ya?”
“Ya! Padahal kamu kan sudah bilang, kamu tidak pernah mengundang mereka dengan nasi kampung dan ayam kuning!” bentak Amat keliru-keliru karena panik.
Ami tersenyum.
“Tenang, Pak. Mereka sudah biasa dibohongi. Dibohongi sekali lagi, mereka tidak akan apa-apa. Apalagi hanya janji betutu dan nasi kuning. Bangsa kita kan jago memaafkan. Lagipula kalau manusianya pembohong, tidak berarti Panca Silanya yang bohong! Ayo, kalau berani berbohong, Bapak harus berani juga menghadapi hasil kebohongan itu!”kata Ami menyeret bapaknya kembali ke depan.
Dengan sangat malu Amat terpaksa ikut. Ternyata di depan, para mahasiswa sedang rebutan nasi kuning dan betutu ayam kampung yang baru saja dibawa Bu Amat dari tetangga.

bung karno


Bung Karno
Ami bertemu dengan Bung Karno.
“Pak!”
“Ya? Ada apa Ami?”
“Kenapa Bapak tidak pernah kembali?”
“Kenapa harus kembali? Sejarah untuk dipelajari bukan untuk diulangi.”
“Tapi kami perlu Bapak.”
“Memang. Sesuatu yang sudah tidak ada menjadi berguna, kalau tetap ada mungkin sia-sia.”
“Tidak. Kalau Bapak ada, tidak akan begini jadinya.”
“Itu rasa hormatmu pada yang sudah terjadi, yang harusnya membuat kamu bangkit bukannya menyerah.”
“Kami sudah mencoba, Pak, tapi ternyata tidak ada di antara kami yang kalibernya cukup besar seperti Bapak.”
Bung Karno tersenyum.
“Kamu kurang sabar saja.”
“Tidak! Kami sudah terlalu sabar. Kami sudah menunggu. Kami memberikan kesempatan, kepercayaan bahkan juga dukungan. Tetapi harapan kami selalu lebih besar dari apa yang terjadi.”
“Itu namanya kurang sabar.”
“Kami tidak bisa disuruh menunggu 350 tahun lagi. Kita sudah merdeka mestinya kita dapat menikmati kemerdekaan, bukan menjadi lebih perih. Kita tidak bisa lagi hanya menunggu dan pasrah, Pak. Kalau terlambat kita tidak akan dapat apa-apa!”
“Lho kamu mau apa? Kemerdekaan kan sudah ada di tanganmu.”
“Memang tetapi bukan hanya kemerdeaan politik. Kami juga ingin merdeka dari beban ekonomi. Kami tidak hanya ingin demokrasi politik, seperti pidato Bapak, kami juga perlu demokrasi ekonomi.”
“Kan sudah banyak sekali ahlinya.”
“Memang. Tapi masing-masing ahli punya pendapat berbeda. Yang kami dapat hanya pertentangan.”
“Itu namanya demokrasi.”
“Tidak Pak, bukan itu. Kami ingin makmur, sejahtera, aman supaya kami tenang. Seperti kata dalang dalam wayang, kami ingin Indonesia yang gemah-ripah kerta raharja loh jinawi.”
Bung Karno tertawa.
“O kamu juga suka wayang? Tokoh favoritmu siapa? Karna?”
“Tidak, Pak. Bapak saya yang suka wayang. Saya lebih suka dongeng-dongeng baru seperti Harry Porter atau kisah-kisah seperti Ayat-Ayat Cinta dan Laskar Pelangi.”
Bung Karno tertegun.
“Apa itu? Aku belum pernah dengar.”
“Lho Bapak katanya kutu buku. Masak Bapak tidak pernah baca?”
“Belum.”
“Baca dong Pak. Nanti Bapak tahu apa yang terjadi sekarang ini. Beda sekali dengan dulu, Pak. Apa yang dulu tidak mungkin sekarang terjadi. Ini dunia yang lain sekali dengan apa yang Bapak alami dulu. Sekarang maling ayam bisa dipenjara seumur hidup, tapi rampok trilyunan dan membuat sengsara rakyat malah bisa berfoya-foya di luar negeri. Air putih pernah lebih mahal dari bensin Pak. Tapi bensin juga sekarang sudah mahal sekali. Di sini sekarang ada dosen yang jadi pemulung, Pak.”
” O begitu?”
“Ya! Makanya Bapak harus kembali. Kami memerlukan Bapak!”
Bukan Karno mengangkat tangannya.
“Tidak mungkin!”
“Kenapa Pak? Bapak tidak cinta kepada kami?”
“O kalau itu, lebih dari cinta.”
“Kalau cinta kembali dong!”
“Tidak bisa. Karena cinta Bapak tidak akan kembali, supaya kamu bisa tumbuh sendiri. Dulu Bapak juga begitu! Sudah ya, Bapak harus pergi, ada undangan untuk bicara di depan PBB!”
“Pak!!!!”
Tapi Bung Karno sudah pergi. Waktu Ami mencoba berdiri mengejar, tangannya dipegang oleh Pak Amat.
“Ami!”
Ami terkejut dan membuka matanya.
“Sudah siang kok ngelindur. Ayo bangun!”
Ami mengusap matanya.
“Saya mimpi ketemu Bung Karno.”
“Ya siapa yang tidak. Juni kan bulan ulang tahunnya. Pengikutnya bahkan juga musuh-musuhnya pasti akan selalu ingat. Orang besar itu tidak pernah pergi.”
“Tapi beliau bilang, tidak bisa kembali.”
“Ya tidak perlu karena dia masih di sini!”
“O masih di sini?”
“Ya masih.”
“Di mana?”
“Panca Sila itu apa?!”
Ami mengangkat tangannya.
“Bukan itu. Kita memerlukan sosok seperti Bung Karno sekarang, supaya kita kembali bangga jadi orang Indonesia. Baru kalau kita bangga, kita akan bisa bangkit. Kalau tidak ada kebanggaan, tidak akan ada tenaga untuk bangkit. Makanya 100 tahun Kebangkitan Nasional kita masih menggeletak saja koma.”
Amat tertawa.
“Kamu masih ngelindur!”
Ami menggosok matanya.
“Ami bicara soal realita yang kita hadapi sekarang. Sampai mimpi Ami terus memikirkan negara dan bangsa. Bapak jangan meremehkan Ami gara-gara Ami masih muda.”
Amat tertawa.
“Kalau kamu benar-benar memikirkan realita, jangan hanya mimpi, itu lihat sudah jam berapa sekarang. Ayo bantu ibumu di dapur lagi masak!”
Amat membuka jendela kamar Ami. Sinar matahari menerobos masuk. Ami menutup matanya karena silau. Hari Minggu yang mestinya menjadi hari panjang untuk istirahat sudah rusak. Sudah bukan zamannya perempuan dilempar ke dapur.
“Ayo bangun!”
Ami berdiri kesal. Dia membanting bantal lalu menarik seprei. Tetapi ketika dia berbalik. Bung Karno berdiri di pintu dan tersenyum.
“Bapak terkejut mendengar curhatmu semalam. Tapi waktu kembali ke mari, lebih terkejut lagi melihat warga sedang kerja bhakti untuk membersihkan lingkungan, seperti di masa lalu. Ternyata tidak ada yang berubah, Ami. Gedung, kendaraan dan keadaan memang sudah lain, tetapi hati mereka masih sama. Hanya saja kamu harus berusaha melihatnya, seperti Ibumu yang sekarang sedang masak untuk dapur umum mereka itu. Coba lihat!”